Sabtu, 04 Juni 2011

Asas Pemisahan Horizontal Dalam Perspektif UU No. 4 Tahun 1996


BAB I
PEANDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
                   Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara adil dan merata.  Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi yang dimaksud, masyarakat sebagai pelaku utama dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan dan membimbing masyarakat serta menciptakan suasana yang mendukung pembangunan tarsebut.
                   Pembiayaan merupakan sarana yang mutlak dibutuhkan pelaku pembangunan ekonomi di Indonesia, baik pemerintah maupun badan hukum swasta ataupun perseorangan.  Salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dapat diperoleh melalui fasilitas perkreditan yang telah disediakan oleh lembaga keuangan perbankan.  Dasar hukum yang mengatur legalitas keberadaan sebagai lembaga perekonomian nasional adalah          Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang diperbaharui dengan              Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang perbankan.
              Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, menyatakan bahwa :
       Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
                   Ketentuan diatas senada dengan pendapatnya Hermansyah yang menyatakan bahwa :
                   Lembaga perbankan mempunyai peranan strategis dan tidak semata-mata berorientasi ekonomis, tetapi juga berorientasi pada hal-hal yang ekonomis seperti masalah yang menyangkut stabilitas nasional yang mencakup antara lain stabilitas politik dan stabilitas sosial.[1])
                   Bank sebagai penyimpan dana masyarakat dalam bentuk simpanan, kemudian diedarkan kembali pada masyarakat dalam bentuk kredit, yang didasarkan pada prinsip kehati-hatian, bahwa apabila bank benar-benar yakin bahwa debitur akan mengembalikan kredit itu sesuai syarat dan jangka waktu yang disepakati dalam perjanjian.
                   Berhubung penting keberadaan dana yang umumnya bersumber dari fasilitas kredit yang disediakan oleh bank, dan dilain pihak bank harus hati-hati dalam mengedarkan uang untuk menghindari terjadinya kredit macet, maka pihak bank selalu memberikan kredit disertai dengan adanya jaminan kredit.
                   Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat dengan UUPA, bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan pada     Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan yang diatur dalam pasal 25, 33, dan pasal 39 diatur dengan Undang-Undang.
                   Ketentuan di atas telah menyediakan suatu lembaga jaminan yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan.  Selama amanah dari pasal 51 UUPA, belum terlaksana, maka yang diberlakukan adalah ketentuan tentang hypotheek ( Pasal 1162 BW ) dan ketentuan mengenai kreditverband          ( Creditverband, dalam 1908-542 Jo Stb. 193-190 ) yang merupakan hukum pemerintah Kolonial Belanda.
                   Undang-Undang Hak Tanggungan yang diamanahkan oleh pasal 51 UUPA, baru terlaksana pada tanggal 9 April 1996, yaitu dengan diundangkannya   Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Atas tanah dan benda-benda lainnya yang berkaitan dengan tanah, selanjutnya disingkat dengan UUHT.
                   Pasal 1 butir 1 UU No. 4 Tahun 1996, menetapkan bahwa :
                   Hak Tanggungan atas beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk perlunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.

                   Berangkat dari nama Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan dan benda yang berkaitan dengan tanah, mengandung makna bahwa hak tanggungan tidak terbatas pada tanah saja, tetapi juga meliputi benda yang berkaitan dengan tanah.  Dengan demikian benda dengan ketentuan dalam UUPA yang bersumber dari hukum adat yang menganut Asas Pemisahan Horizontal, yaitu adanya pemisahan pemilikan tanah dengan benda melekat pada tanah.  Konsepsi hukum tanah adat ini kemudian diangkat masuk ke dalam pasal              5 UUPA, bahwa hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa dalam hukum adat.
                   Berdasarkain uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana kedudukan Asas Pemisahan Horizontal dalam pelaksanaan Undang-Undang Hak Tanggungan?
2.      Bagaimanakah fungsi Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit perbankan?

B.   Tujuan Penulisan dan Keguanaan Penulisan
       a.     Tujuan penulisan
                   1.    Untuk mengetahui eksistensi asas pemisahan horizontal dalam hak tanggungan di Indonesia.
                   2.    Untuk mengetahui fungsi hak tanggungan dalam perjanjian kredit perbankan
       b.    Kegunaan penulisan
1.    Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap pengembangan ilmu hukum, khususnya pada hak tanggungan.
2.    Diharapkan hasil penulisan ini bermanfaat kepada setiap pembaca, terutama kepada pihak yang ingin meneliti hak tanggungan lebih lanjut.
3.    Penulisan ini merupakan salah satu cara bagi penulis untuk mengembangkan diri dalam bidang ilmu hukum, terutama dalam bidang hak tanggungan dalam hukum perbankan.

C.   Kerangka Teori   
                   Dalam mewujudkan pembangunan nasional, pembiayaan merupakan salah satu sarana yang mutlak ada.  Untuk memenuhi hal tersebut para pelaku usaha umumnya dilakukan melalui kredit yang dicanangkan oleh pihak lembaga keuangan perbankan.
                   Berhubung lembaga keuangan bank merupakan sumber pembiayaan yang riil, maka mutlak diperlukan lembaga jaminan kredit yang dapat memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum, baik kepada pihak bank maupun kepada pihak debitur.
                   Lembaga keuangan bank di Indonesia memiliki misi dan fungsi, yang diarahkan untuk berperan sebagai agen pembangunan ( agen of deelopment ).[2])  Bank sebagai agen pembangunan mempunyai tujuan mendukung pelaksanaan pembangunan dalam rangka meningkatkan pembangunan dan hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional demi meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.
                   Sehubungan dengan tenggang waktu pemberian kredit, yang semakin lama waktu yang diberikan, maka resiko semakin tinggi mengakibatkan pemberian kredit  bank harus memperhatikan asas pengkreditan yang sehat.[3])  Hal itu disebabkan karena kredit bermasalah merupakan penyakit yang paling ditakuti oleh lembaga perbankan, karena akibatnya sangat fatal terhadap kelangsungan hidup usaha perbankan.
                   Keberadaan lembaga Hak Tanggungan yang kokoh, diharapkan dapat memperkecil intensitas kredit bermasalah, baik kualitas, maupun kuantitas operandi kredit yang bermasalah pada lembaga keuangan.[4])  Tanah merupakan benda yang sejak dari dahulu memiliki kedudukan yang strategis dalam kehidupan manusia, dari waktu ke waktu memiliki nilai tambah yang semakin meningkat, sehingga pemerintah berupaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik tanah, baik secara perorangan maupun badan hukum melalui UU No. 5 Tahun 1960.
                   Pasal 51 UUPA, menyediakan suatu lembaga hak jaminan, yang dapat dibebankan kepada hak atas tanah, yaitu hak tanggungan.  Dalam penjelasan umumnya yang ke 5 paragraf 3, ditetapkan bahwa hak tanggungan merupakan satu-satunya hak jaminan atas tanah yang berlaku saat sekarang ini.
                   Menurut ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan atas tanah, bahwa hak tanggungan atas tanah, beserta       benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang disingkat dengan Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakn satu kesatuan dengan tanah untuk perlunasan utang tertentu.
                   Memperhatikan kepentingan hak tanggungan di atas terlihat bahwa hak tanggungan tidak terbatas pada hak tanggungan saja, tetapi juga benda yang berkaitan dengan tanah, yang berarti menganut asas pelekatan, sedangkan UUPA yang bersumber dari hukum adat menganut asas pemisahan horizontal.


                   Dalam hukum adat tanah merupakan benda yang sangat istimewa sehingga pengaturan mengenai tanah dalam hukum adat mempunyai lingkup tersendiri yang terpisah dengan benda lain yang bukan tanah.[5])  Pernyataan itu sesuai dengan isi ketentuan Pasal 5 UUPA, bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat.  M. Isnaeni menyatakan bahwa UUPA dijiwai hukum adat, apabila konsisten, maka undang-undang tersebut tidak mengenal benda tidak bergerak, namun mengenal bagian benda yang bukan tanah dan tanah.[6])
                   Asas pemisahan horizontal dalam UUPA, berbeda dengan ketentuan yang ada dalam hukum Perdata Barat ( KUHPerdata ) dimana bangunan menjadi bagian dari tanah, karena berlaku apa yang disebut dengan asas pelekatan            ( asas acessie ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 500 Jo Pasal 571 KUH Perdata.
                   Mariam Bahrulzaman yang diikuti A. Melantik, menyatakan bahwa dilihat dari segi system, maka lahirnya UUHT baru menimbulkan dampak pada hukum jaminan yang terletak pada Undang-Undang lain, seperti KUHD yang mengatur tentang hipotek atas kapal, undang-undang rumah susun, dan undang-undang perumahan dan pemukiman, serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang perbankan yang mengatur tentang tanah sebagai jaminan kredit pada lembaga perbankan.[7])

D.   Metode Penelitian
                   Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normative, dengan menelaah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.  Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan Perundang-undangan seperti UUPA dan UU Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan, UU Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perbankan.  Sedangkan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dari buku-buku literatur, artikel-artikel atau laporan penelitian, dan bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan permasalahan dalam penulisan ini.
                   Data yang berhasil dikumpulkan dalam pelelitian ini, dianalisis secara kualitatif, kemudian dipaparkan secara deskriptif dalam bentuk skripsi.
             
      
             

             



BAB II
TINJAUAN UMUM HAK TANGGUNGAN

A.      Pengertian Hak Tanggungan
            Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960, tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, menetapkan bahwa hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan dapat dijadikan sebagai jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.  Pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah tersebut diatur dengan Undang-Undang ( Pasal 51 ) UUPA.
            Dalam masa transisi setelah menunggu selama 34 tahun sejak       Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960, menjanjikan akan dibentuknya        undang-undang hak tanggungan, tetap berlaku hipotek dan crediverbank.  Hal itu sesuai dengan peraturan peralihan yang diatur dalam pasal 57 UUPA, yang menetapkan bahwa selama belum adanya undang-undang hak tanggungan, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hipotek dan crediverbank.  Selama menunggu selama 34 tahun, undang-undang yang dijanjikan dalam pasal 51 UUPA baru terwujud pada tanggal 9 April 1996, diterbitkan undang-undang nomor 4 tahun 1996, tentang hak tanggungan atas tanah serta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang disingkat dengan UUHT.
            Kehadiran lembaga hak tanggungan, dimaksudkan sebagai pengganti dari hipotek ( hypotheek ) sebagaimana yang diatur dalam buku-buku kitab undang-undang hukum perdata ( KUH Perdata ) sepanjang mengenai tanah dan creditverbank yang diatur dalam staadsblad 1908 – 542, yang telah di ubah staadblad 1973 – 190.  Hal itu sesuai dengan penjelasan umum undang-undang hak tanggungan peraturan perundang-undangan mengenai hipotek dan credit verbank berasal dari berlakunya hukum tanah nasional, sebagaimana ketentuannya yang diatur dalam UUPA dan diberlakukan untuk sementara waktu, sambil terbentuknya undang-undang yang dimaksud dalam pasal 51 UUPA.
            Sutan Remy Sjahdeni mengatakan bahwa ketentuan tentang hipotek dan creditverbank tidak sesuai lagi dengan hukum tanah nasional, dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam  bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat kemajuan pembangunan ekonomi.[8])
            Pengertian hak tanggungan dalam pasal 1 UUHT dinyatakan bahwa :
            Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang pokok agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk perlunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan para kreditor tertentu terhadap          kreditor-kreditor lainnya.



                   Rumusan diatas diketahui bahwa hak tanggungan adalah suatu bentuk jaminan perlunasan utang, dengan hak yang mendahulu, dengan objek jaminannya berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam undang-undang pokok agraria.
                   Undang-undang pokok agraria (UUPA) sebagai ketentuan dasar mengenai hukum tanah di Indonesia dalam mengatur tentang hak jaminan menetapkan suatu ketentuan bahwa hak tanggungan hanya dapat dibebankan kepada hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, seperti yang diatur dalam pasal 25, 33, dan pasal 39 UUPA.  Ketentuan ini mengandung tiga dasar pokok yang berkenaan dengan pengaturan hak jaminan atas tanah, yaitu :
1.      Hak jaminan atas tanah di Indonesia diberi nama hak tanggungan, yaitu suatu bentuk lembaga jaminan baru untuk menggatikan berbagai lembaga jaminan yang ada dan diakui menurut ketentuan yang berlaku sekarang seperti hipotek, kreditverbank, gadai, vidusia.
2.      Lembaga jaminan yang diberi nama hak tanggungan ini hanya dapat dibebankan kepada hak milik atas tanah, hak guna usaha, dan hak guna bangunan.
3.      Bahwa mengenai apa yang di namakan hak tanggungan diatur dengan undang-undang tersendiri.
                   Kehadiran undang-undang yang baru diharapkan mampu memicu perkembangan pembangunan ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur, serta mempu menjabarkan ketentuan yang ada dalam UUPA dan menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan yang ada dalam masyarakat masa kini, sekaligus menjawab tantangan ekonomi global dimasa akan datang.
                   Dasar perkembangan filosofi sosiologis ditetapkannya undang-undaang hak tanggungan antara lain bahwa ketentuan mengenai hipotek yang diatur dalam buku-buku BW, sepanjang mengenai kreditverbank dalam staadsblasd 1908-542 yang telah diubah dengan staadblasd 1973-190 yang berdasarkan pasal 57 UUPA, masih tetap berlaku hingga terbentuknya Undang-Undang hak tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia.  Selain itu pertimbangan dibentuknya undang-undang hak tanggungan baru karena mengingat perkembangan yang telah dan akan terjadi dalam bidang pengaturan administrasi hak-hak atas tanah, serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, maka selain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan yang dituntut sebagai objek hak tanggungan oleh undang-undang nomor 5 tahun 1960 hak pakai atas tanah tertentu, wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahkan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebanihak tanggungan.
                   Keberadaan undang-undang hak tanggungan selain diharapkan memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga keuangan, juga diharapkan penerapan undang-undang hak tanggungan memininalisir kredit bermasalah dalam praktek.  Hak tanggungan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang  nomor 4 tahun 1996 merupakan salah satu langkah positif dalam upaya memberikan kepastian hukum bagi pihak kreditur dan pihak debitur berkenaan dengan pemberian dan perolehan jaminan kredit perbankan.
                   Salah satu tujuan yang terkandung dalam undang-undang pasal 4 tahun 1996, adalah memberikan manfaat kepada pihak bank sebagai penyalur kredit dan juga kepada masyarakat yang meminjam uang dengan jaminan bidang tanah hak milik atau hak guna usaha atau hak guna bangunan.
                   Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyak banyak ( pasal 1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perbankan.
                   Berdasarkan pengertian diatas diketahui bahwa bank merupakan badan usaha yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada pihak yang membutuhkannya dan memberi jasa dalam lalulintas perdagangan.  Di Indonesia dikenal dua jenis bank, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. 
              Kegiatan usahan Bank Umum adalah antara lain :
a.         Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan.
b.         Memberikan kredit.
c.         Menerbitkan surat pengakuan hutang, memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri, maupun untuk kepentingan nasaba.
d.        Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan membuat perhitungan dengan pihak ketiga.
e.         Melakukan kegiatan penitipan barang untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.
f.     Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan bagi bank perkreditan rakyat adalah :
a.         Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan.
b.         Memberikan kredit.
c.         Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
d.        Menempatkan dananya dalam bentuk sertifikat bank Indonesia ( SBI ), deposito berjangka, sertifikat deposito atau tabungan pada bank lain.
                   Mengingat peran bank sebagai penyimpan dan penyalur dana masyarakat pada pihak nasabah dalam bentuk kredit, pemberian kredit itu harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian.  Jika bank benar-benar yakin bahwa debitur akan mengembalikan uang pinjaman sesuai dengan jangka waktu yang disepakati, maka nasabah akan diberikan kredit yang domohonkan.
                   Pihak bank menyadari bahwa dana yang diedarkan pada masyarakat dalam bentuk kredit, tidak terlepas dari resiko kerugian, dan semakin lama jangka waktu pengembaliannya semakin tinggi resiko kerugiannya.  Sehingga untuk mengganti resiko kerugian tersebut, diperlukan jaminan dalam bentuk agunan hak milik atas bidang tanah.
                   Sehubungan dengan hal itu, maka kegiatan pinjam-meminjam uang melalui bank yang disebut kredit, selalu disyaratkan adanya agunan yang oleh pihak bank dipandang sebagai salah satu tindakan pengamanan pelunasan kredit, dengan harapan tidak terjadi kredit bermasalah atau kredit macet.  Dalam praktek tidak semua barang dapat diterima sebagai jaminan kredit, tetapi hanya tanah yang jelas status hukumnya, seperti tanahnya sudah didaftarkan.  Hal itu dimaksudkan untuk memberi kemudahan pengikatan agunan kredit, kepastian nilai dari objek pertanggungan kredit, serta kemudahan pencairan objek agunan, dan pengawasan serta pemeliharaannya.
                   Kehadiran undang-undang nomor 4 tahun 1996 diharapkan mampu menjawab tatangan yang muncul dalam bidang ekonomi, khususnya bidang pengkreditan pada lembaga perbankan yang semakin kompleks serta dapat memberikan kesinambungan dalam perlindungan hukum.
                   Satjipto Raharjo yang diikuti oleh Melantik Rompegading, menyatakan bahwa dalam bekerjanya hukum hal yang tidak dapat diabaikan adalah peranan orang atau anggota masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan hukum.[9])  



B.       Ciri dan Sifat Hak Tanggungan
                   Bahwa hak tanggungan merupakan bagian dari hukum jaminan yang berfungsi untuk memberikan pelunasan atas utang debitoryang belum terlunasi apabila jangka waktu telah berlaku atau debitor melakukan wanprestasi.  Hal itu diketahui melalui pasal ( 1 ) angka ( 1 ) undang-undang nomor 4 tahun 1996 bahwa hak tanggungan adalah suatu bentuk pelunasan utang dengan hak mendahulu, objek jaminan yang berupa hak atas tanah yang diatur dalam UUPA, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan. 
                   Sesuai dengan fungsi hak tanggungan, Munir Fuady mengklasifikasikan jaminan dalam dua bentuk, yaitu :
a.       Jaminan umum dan jaminan khusus.
b.      Jaminan pokok, jaminan utama, dan jaminan tambahan.[10])
       Ad. Jaminan Umum dan Jaminan Khusus
                   Dalam jaminan merupakan bentuk jaminan dimana seseorang debitur memberikan hak atas pelunasan utangnya terhadap kekayaan yang dimilikinya terhadap setiap kreditur.  Hal itu diketahui dari pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( KUH Perdata ) bahwa segala kebendaan siberutang, baik yang berupa benda-benda bergerak, maupun benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang akan dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.
                   Kebendaan yang dimiliki oleh seorang yang berutang menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mempunyai utang kepada pihak yang  berutang, dalam arti bahwa hasil penjualan benda-benda yang dimiliki oleh pihak yang berutang dibagi-bagi menurut keseimbangan.  Hal itu dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya harta kekayaan yang dimiliki oleh seorang yang berutang lebih kecil dari jumlah utang yang ditanggung, sehingga             undang-undang menetapkan agar dapat dibagi menurut keseimbangan besar kecilnya utang.
                   Selanjutnya jaminan khusus yaitu jaminan yang terjadi karena ada dasar hukum sah untuk didahulukan, hal itu termasuk dalam pengecualian dalam pasal 1132 KUH Perdata, bahwa kecuali di antara para pihak yang berpiutang ada alasan yang sah untuk didahulukan, menunjukan bahwa selain adanya jaminan umum ada jaminan khusus yang karena alasan yang sah harus didahulukan pembayarannya.  Contoh jaminan khusus adalah hak tanggungan yang diatur dalam undang-undang nomor 4 tahun 1996, pembayaran hak tanggungan atas kredit bank itu didahulukan karena hak tanggungan memberikan kedudukan utama atau didahulukan dibanding dengan hak-hak yang lain artinya kreditur yang mempunyai jaminan khusus atau suatu barang agunan mempunyai hak yang diprioritaskan, didahulukan pembayarannya dibanding dengan hak gadai atau hak fiducia.

ad.  b. Jaminan pokok, jaminan utama, jaminan tambahan.
                   Jaminan didasarkan atas kepercayaan kepada debitur bahwa pinjaman dalam bentuk kredit mampu dikembalikan sesuai dengan kesepakatan.
                   Jaminan utama merupakan jaminan yang tertuju pada objek yang dibiayai kreditur dan berada dalam penguasaan debitur yang didasarkan pada perjanjian.  Selanjutnya jaminan tambahan merupakan yang terjadi berdasarkan perjanjian dan keberadaan jaminan tambahan ini dimaksudkan untuk mendukung atau menambah jaminan utama.  Jaminan tambahan ini merupakan sarana untuk melindungi kepentingan kreditur untuk dijadikan sebagai pelunasan utang apabila pihak debitur melakukan wanprestasi.  Contoh jaminan tambahan adalah hak tanggungan atas tanah, gadai atas barang yang bergerak, hipotek atas pesawat atau kapal laut, dll.
                   Perjanjian hak tanggungan merupakan perjanjian yang bersifat assesoir      ( perjanjian ikatan atau tambahan dari perjanjian pokok ) yaitu perjanjian utang piutang seperti perjanjian kredit bank.  Kedudukan hak tanggungan dalam perjanjian utang piutang dengan pihak bank adalah sebagai pelunasan kredit di kemudian hari apabila pihak debitur melakukan wanprestasi dan hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan atau didahulukan daripada        kreditur-kreditur lainnya.

                   Mengenai ciri dan sifat hak tanggungan menurut terdiri dari :
1.             Hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan                        ( Droit de preferensi ).  Droit de preferensi merupakan sifat khusus yang dimiliki oleh hak kebendaan, dimana hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
     Kedudukan yang diutamakan dalam hak tanggungan dijumpai dalam penjelasan umum undang-undang hak tanggungan, bahwa jika kreditur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan menjual melalui pelelangan umum atas tanah yang dijanjikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya.  Kedudukan yang mendahulu itu sudah barang tentu yang tidak merugikan piutang negara menurut peraturan hukum yang berlaku.
     Kedudukan mendahulu yang terdapat dalam sifat hak tanggungan juga diketahui dari pasal 20 ayat 1 UUHT yang menetapkan bahwa :
Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan :
a.       Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6; atau
b.      Hak eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat 2, objek hak tanggungan dijual melaui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya.